5 Tips dekorasi kamar ala content creator yang unik dan kreatif

Bagi seorang content creator, kamar bukan hanya menjadi tempat istirahat, namun juga menjadi tempat untuk berkreasi. Oleh karena itu, sebagai content creator kamu perlu merancang kamar sedemikian…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




The Worst Ever

“Hp lu bunyi mulu dah.”

“Biarin aja.”

Setelah mengeluarkan koper berwarna merah muda itu dari bagasi mobil, Gio segera menyusul Sera yang sudah menunggu untuk dibukakan pintu rumah mereka.

Cewek dengan tank top hijau yang dipadukan jaket crop senada itu melihat sekeliling rumahnya. “Nggak banyak yang berubah ya. Masih gini-gini aja.”

“Emang mau berubah gimana orang cuma gua doang yang netep di sini?” Gio baru aja buka pintu dan Sera langsung menyeloroh masuk ke dalam rumah yang sudah ia tinggalkan sejak 5 tahun lalu itu, lalu kembali menoleh pada kakaknya. “Btw ini gua nggak boleh ikut?”

“Napa sih lu kaya pingin banget?” Salah satu alis Gio nampak naik. “Biasanya paling anti ketemu sama orang baru.”

“Ya kan ini cewek lu. Masa gua nggak boleh ketemu.”

“Gua lagi anniv sekarang.”

Sera sontak membulatkan bibirnya. “Hari ini? Yang ke berapa?”

“Empat.” Gio menarik gagang pintu. “Dah gua tinggal ya. Bilang Ibu, gua mau main sama Gauri. Pulangnya agak maleman.”

Sebelum Gio benar-benar menarik pintu agar ia tutup dari luar, tiba-tiba tangan adiknya itu menarik lengan bajunya sambil cengengesan.

“Titip salam ya.”

“Buat Albi?”

“Gauri.”

“Kak Gauri. Lu beda dua tahun sama dia. Jangan songong.”

Sera mendengus. “Iya itu lah. Bilangin gini, ada salam dari Rin. Ditunggu kapan waktu kosongnya biar cepet-cepet meet up gitu.”

“Hah? Siapa Rin?”

“Rahasia.”

“Dia cewek apa cowok?”

“Cewek.”

“Kenal Gaw?”

“Kenal lah.”

“Kenal dari mana?”

“Twitter.”

“Udah lama?”

“Setahunan lah ada.”

“Umurnya?”

“Ah elah sampein aja sih. Banyak tanya lu.”

Gio memutar matanya malas saat Sera langsung mendorong badannya dan menutup pintu membuat cowok itu segera berjalan menuju mobil untuk bertemu dengan ceweknya.

Helaan nafas berat itu Gio hempas. Cowok itu sudah duduk di balik kemudi dengan kedua tangan meremat stir mobil dan isi kepala yang terus memberontak.

Sudah genap satu minggu Gio nggak mencium wangi sampo strawberry di bawah dagunya, atau parfum Bare Vanilla yang selalu ada di dekapannya, ataupun lipbalm perasa anggur yang selalu terasa di atas bibirnya.

Sudah genap buncahan itu Gio tampung dan ingin segera teralirkan dengan menangkap jelas sosok Gauri di depan kedua matanya.

Tapi semua itu seketika lenyap kala percakapan dengan Rion selalu berkelibat memenuhi pikiran.

Gio mengetuk jarinya di atas kemudi.

Bagaimana ia harus bersikap layaknya nggak ada apa-apa di hari yang Gio yakin ada sesuatu yang sudah ceweknya itu siapkan matang-matang.

Bagaimana ia harus pura-pura senang saat Gauri memberikan hadiah yang kembali Gio yakini sudah cewek itu bungkus serapi mungkin untuknya.

Dan berbagai macam tanya bagaimana lainnya yang nggak bisa Gio utarakan satu persatu.

Gio menarik nafas panjang. Perlahan ia bergerak menarik rem kala lampu merah di hadapannya menyala.

Kepala cowok itu menoleh, melihat kursi penumpang yang biasanya diisi Gauri itu nampak kosong.

Tanpa diminta lagi dan lagi seluruh memori ingatannya dengan Gauri berputar di kepala.

Terlalu banyak.

Terlalu membekas.

Terlalu melekat membuat Gio nggak bisa memilih satu kenangan yang harus ia reka dalam ingatan.

Semua ingatan itu mengelilingi dirinya. Seperti mengingatkan jika keputusannya di beberapa hari belakangan ini adalah sebuah kesalahan yang harusnya nggak pernah melintas atau terpikirkan olehnya.

Di saat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, ponsel Gio berdering, menampilkan satu panggilan masuk dari Albi.

Gio segera meraihnya seraya mengambil stir ke arah kiri karena halte yang dijadikan patokan oleh Gauri berada lima ratus meter di depannya.

“Napa?”

“Anjing Ibas bisa-bisanya — eh lu lagi bareng cewek lu nggak?”

Kening Gio mengernyit. “Kenapa emang?”

“Jawab aja Yo! Si Gauri dimana?”

“Ini baru mau gua jemput. Kenapa sih Bi?”

“Cepetan ambil hp nya Yo! Please ambil sekarang keburu telat!”

“Hah? Hp nya? Kenapa sih anjir, yang jelas kalo ngomong.”

Mobil cowok itu sudah menepi tepat di halte Aeon Tanjung Barat. Matanya menelusur sekeliling tempat duduk yang hanya diisi oleh seorang ibu dan anak kecil di dalam gendongannya. “Keburu telat ngapain?”

“Ibas.” Albi terdengar menggeram keras. “Dia keceplosan soal — anjing.”

“Hah?”

“Cewek lu dah read.”

“Apaan yang di read?”

“Grup BEM.”

Gio segera menjauhkan ponselnya dari telinga. Tumpukan notifikasi begitu memenuhi layar. Terus menerus masuk tanpa berhenti.

Di saat itu juga Gio merasa dadanya berhenti berdetak.

“Susul cewek lu Yo. Please susul dulu.”

Tanpa kata, Gio memutus panggilan Albi dan segera keluar dari mobilnya. Cowok itu mencari dial 1 di ponselnya dengan kaki berlari menuju halte.

Tangannya yang menggenggam ponsel di telinga ia rasakan bergetar kuat. Nafasnya mulai terasa begitu sulit. Begitu juga dengan detak jantungnya yang terasa ingin loncat saat itu juga.

Tolong.

Jangan.

Jangan ada kata sakit lagi untuk perempuannya.

“Permisi Bu. Maaf mau tanya.”

Gio setengah menduduk, bertanya kepada satu-satunya orang di halte tersebut. “Tadi di sini ada perempuan yang tingginya sekitar segini, rambutnya agak panjang sama punya poni agak nutupin mata nggak ya Bu?”

“Aduh, ada banyak orang Mas tadi di sini.”

Gio melepas ponselnya dari telinga. Mencari foto Gauri dengan jari jemari kian bergetar. “Yang ini Bu.”

“Oh Mbak itu. Ada tadi Mas, malah sempet bolak balik ke sini.” Perempuan paruh baya itu menyipitkan matanya pada layar ponsel Gio yang menampakkan foto Gauri. “Tapi rambutnya kayanya nggak sepanjang kaya di foto ini deh. Terus nggak ada poninya juga.”

“Hah? Beda orang Bu?”

“Sama Mas. Cuma rambutnya beda. Sama tadi Mbak nya pake baju bagus gitu, warna putih. Rambutnya juga di pita-pitain. Ada acara sama Mas nya ya?”

No..

Please..

“Terus Ibu tau nggak dia pergi kemana?”

“Naik taksi Mas. Barusan banget. Ada kali lima menit sebelum mobil Mas dateng.” Perempuan itu kembali berkata. “Tapi kayanya Mbak nya nangis loh Mas. Soalnya pas saya tanya lagi nunggu apa, cuma geleng-geleng sambil usap matanya terus. Bahunya juga naik turun gitu nggak berhenti-berhenti. Jadinya saya biarin aja dia biar tenang dulu.”

Jantung Gio serasa diremas kuat.

Cowok itu menelan ludahnya kasar, lalu tersenyum singkat. “Ah iya. Makasih ya Bu.” dan setelahnya ia segera berlari kembali menuju mobil.

Dengan tangan yang nggak bisa berhenti bergetar, Gio mengetik beberapa pesan pada Gauri. Maupun ia yakin ceweknya nggak akan balas sama sekal —

“Gaw.. no..” Gio merasakan dadanya semakin menghimpitnya kian kuat. “Don’t say that.

Tanpa memakan waktu, Gio segera menginjak pedal gas, berlomba-lomba dengan debaran yang semakin menyiksa.

Tangannya bergerak memutar stir ke kanan dan kiri secara brutal. Gio udah nggak peduli berapa banyak klakson dan umpatan yang ia dapatkan dari cara menyetirnya yang luar biasa urakan.

Karena yang ada di kepalanya hanya Gauri. Ceweknya. Perempuan yang menemani hidupnya selama empat tahun belakangan ini.

Di saat senang dan sedihnya. Di saat kuat dan lemahnya. Di saat segala manusia menjauh dan hanya cewek itu yang setia menggenggamnya. Seolah menjadi pengingat untuk Gio bahwa ia nggak akan melewati masa tersulit sekalipun dalam kondisi sendirian.

Di belokan akhir menuju gang rumah Gauri, kedua mata Gio seketika meluas. Sebuah taksi terparkir di depan sana.

Jantung Gio berdetak semakin nggak terkendali kala pintu taksi itu terbuka dan sosok yang sama persis dengan penjabaran Ibu yang berada di halte tadi menampakkan dirinya.

Gauri memakai gaun putih dengan aksen bunga-bunga. Rambut barunya yang dihiasi sebuah pita itu dibiarkan terurai menyentuh bahu.

Ia mengulurkan yang sepertinya uang kepada supir taksi dan segera berbalik untuk membuka pagar rumah.

Perasaan Gio sudah begitu meluap. Mobilnya langsung terparkir asal dan secepat kilat ia membuka pintu.

Dan Gauri sudah berada di sana.

Di depan pintu rumahnya dengan salah satu tangan menjinjing sebuah paper bag coklat, menoleh ke arahnya dengan wajah tanpa ekspresi.

Gio segera memutari mobil. Denyutnya kian menyakitkan saat menatap wajah yang sangat ingin sekali ia tenggelamkan ke dadanya itu sudah begitu pias dan berantakan.

“Gaw..”

Tatapan itu kosong.

Gauri hanya menatapnya dengan sorot sembab dan lelah.

Riasan di wajah itu sudah mengabur. Luntur entah karena air mata atau tangannya yang terus menggosok wajahnya yang penuh akan kesedihan.

Perlahan Gio meraih salah satu tangan Gauri. Mengisi dengan jari-jemarinya. Memangkas kekosongan dan rasa dingin yang terasa sangat menyengat itu membuat ia menggigit bibirnya kuat-kuat.

“Gaw..” Lidah Gio terasa mati. “Gauri..”

“Kita.. putus?”

Detak jantung Gio seolah berhenti.

Cewek itu mendongak. Kedua matanya sudah sangat amat berair. “Kenapa?” Gauri menjeda. “Aku salah ya?”

“Nggak..” Gio sontak menggeleng kasar. “Please.. jangan berpikir kaya gitu.”

“Kamu nggak suka aku main sama temenku terus?”

“Hah?”

“Makanya kamu mau minta putus?”

“Enggak — ”

“Atau — ” Bibir cewek itu bergetar, memutus ucapan Gio yang belum usai. “Atau.. karena temen-temen kamu?”

Gio tercekat. Nggak ada satu pun kata yang dapat keluar begitu Gauri mulai menangis di depan matanya.

“Kamu capek karena aku nggak pernah mau terus terang tentang perlakuan temen-temen kamu ke aku?”

Gio berusaha tetap menggenggan tangan Gauri yang semakin dingin dan perlahan menggeliat kasar.

“Kalau kamu tanya kenapa aku nggak pernah mau kasih tau kamu apa aja yang udah mereka lakuin ke aku, itu karena aku nggak mau kamu kehilangan mereka.” Isak Gauri perlahan datang. “Dan — aku nggak mau punya musuh, Gi.”

“Aku bisa hidup tanpa harus punya temen. Tapi aku nggak bisa hidup punya musuh. Terlebih musuh itu kakak tingkat dan temen-temen kamu sendiri.”

“Aku… takut.”

Dada Gio terus menerus berdetak keras nggak karuan. Kepalanya ia dongakan dan matanya menutup dengan bibir yang ia gigit kian kuat.

“Mereka semua emang nyakitin aku. Dari pertama kali Kak Ibas yang bilang ke aku buat nggak ketergantungan sama kamu, Kak Sena yang nyindir aku berkali-kali di sosmed, Adji yang diem-diem ambil hp kamu buat bales chat aku pake kata-kata kasar, Kak Ringgo yang selalu bilang ke aku buat lupain semuanya dan Kak Albi yang bilang nyesel udah bantu aku buat ke cafe — ” Gauri menarik nafasnya susah payah. “Itu semua nyakitin. Tapi aku lebih takut kamu ninggalin aku.”

“Karena aku gatau harus apa kalau kamu pergi. Aku — aku nggak inget hidup aku tanpa kamu itu sebelumnya gimana. Aku nggak tau, Gi.”

Jantung Gio sontak mencelos.

Ia sungguh kehilangan semua ucapannya. Semua susun kata yang sempat ia siapkan saat ia bertemu dengan Gauri lenyap terkunci di dalam bibir.

“Kalau menurut kamu omongan Kak Ibas di grup itu ngasal, kenapa temen-temen kamu yang lain harus panik sampe segitunya?” Gauri membuang nafasnya yang sudah sangat berat. “Mereka harusnya nggak perlu bereaksi seolah kamu sama mereka udah nyiapin itu jauh-jauh hari di belakang aku dan sekarang ketauan dengan alesan salah kirim chat di grup. Kenapa harus begitu?”

Genggaman tangan Gio semakin menguat ketika ia rasakan Gauri terus menerus memberontak dalam lingkupannya.

“Maaf.”

“Lepas.”

“Gaw..”

“Lepasin.”

“Gauri, please.” Gauri terus berusaha menarik tangannya. “Dengerin aku dulu.”

“Aku nggak apa-apa diperlakuin begitu terus sama temen-temen kamu. Tapi nyatanya kamu milih nyerah dari aku ya.”

“Gauri!”

Seketika Gio terkejut bukan main.

Kedua tangannya bergerak cepat menangkap Gauri yang tiba-tiba terjatuh diikuti tangisannya yang cewek itu sudah tahan sejak tadi yang langsung meledak begitu keras.

Gio berjongkok, berusaha menggenggam tangan Gauri yang terus menutup wajahnya dengan isak tangis yang kian hebat.

“Kita nggak putus, Gaw. Semua yang diucapin Ibas nggak bener.”

“Terus apa?” Gauri mengangkat wajah dengan deraian air mata. “Terus apa, Gi?”

Break.”

Gauri menatapnya dengan wajah nggak percaya. “Hah?”

Break, bukan putus.”

Gio berhasil menggenggam kedua tangan Gauri dan dengan cepat menyatukan keduanya menjadi satu.

“Kita istirahat. Kamu, aku, kita berdua sama-sama istirahat dulu dari semuanya.” Gio berusaha kembali menggenggam kuat tangan Gauri yang kembali meminta untuk dilepaskan. “Kamu istirahat dari temen-temenku. Begitu juga aku yang harus biarin kamu tenang dari mereka.”

Gauri hanya menatapnya dengan tangisan yang terus menerus mengalir di kedua pipinya.

“Aku bakal istirahat sebentar. Jernihin pikiran aku dan jauhin semua hal.”

“Termasuk aku?”

Gauri menatap Gio dengan putus asa. “Kamu bakal jauhin semuanya termasuk aku?”

Tangisan cewek itu kembali terdengar pilu. “Aku bahkan nggak tau hidup aku sebelum ada kamu itu gimana. Kamu — kamu selalu ada di setiap langkah aku. Tapi, kenapa.. kenapa jadi begini?”

“Gaw..”

“Bangun, Dek.”

Gio terkejut setengah mati. Rion tiba-tiba sudah berada di sebelahnya dengan raut mengeras.

Cowok itu menarik lengan Gauri dan berusaha mengangkat adiknya agar berdiri di sebelahnya.

Stop begging.”

Rion mendekap Gauri yang masih bergetar hebat itu dengan erat. Matanya melirik Gio tajam. Rahangnya bertaut keras. Raut baru yang nampak asing dan nggak akan pernah mau Gio dapatkan lagi dari Rion.

Stop begging for thing that don’t deserve you.

Dan Rion langsung berjalan membawa Gauri, meninggalkan Gio yang perlahan hancur berkeping-keping.

Add a comment

Related posts:

Daughters of Death

He waited in a richly furnished room that at one point was his study, but it had since been turned into a makeshift panic room. His mansion was filled with body guards from two different security…

Nissan Altima 2019 Kini Hadir Dengan Model Terbaru

Altima berangkat lebih pendek dari jarak penuh pengujian jangka panjang kami yaitu 40.000 mil dengan kami berharap kami telah memesan mesin turbocharged yang lebih bertenaga. Penutupan tes jangka…

Trik Jitu Meraih Keuntungan Bermain Slot Online

Slot online pada saat ini merupakan satu-satunya permainan terpopuler maupun sangat banyak dimainkan oleh masyarakat di Indonesia untuk mencari keuntungannya, karena bisa mereka dapatkan dengan…